• Assalamu'alaikum Wr. Wb.

    Selamat Datang di Blog SITE SMP Islam Watulimo, Semoga membawa Kemanfaatan Untuk Kita Semuanya ...

  • Tim Paduan Suara HSN 2018

    Tim Paduan Suara SMP Islam Watulimo pada Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2018

  • TIM PADUAN SUARA

    Tim Paduan Suara SMP Islam Watulimo pada acara APEL AKBAR Ansor-Banser Kabupaten Trenggalek

  • Lomba Jelajah Santri 2018

    Lomba Jelajah Santri Satuan Komunitas Pramuka Ma'arif NU Tingkat Jawa Timur Tahun 2018 di Bumi Perkemahan Serut Kabupaten Blitar.

  • LJS3-T 2019

    Juara Umum 3 Putri LJS3-T Tahun 2019 SAKO Ma'arif NU Kwarcab Trenggalek.

  • Bersama Masyayikh

    Bersama Masyayikh pada Kegiatan Pawai Ta'aruf dalam Rangka Hari Santri Nasional Tahun 2018 di Guwo Lowo.

Senin, 25 Maret 2019

Serahkan SK CPNS, Plt Bupati Trenggalek Berharap Tenaga Baru Bisa Membawa Semangat Perubahan


Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Trenggalek, H. Mochamad Nur Arifin, serahkan surat keputusan pengangkatan bagi 377 CPNS di Pendopo Manggala Praja Nugraha, Senin (25/3/2019).
.
Hadir pula dalam acara tersebut, Sekretaris Daerah Kabupaten Trenggalek, Ir. Joko Irianto, M.Si., Kepala BKD Trenggalek, Drs. Pariyo, pimpinan OPD dan segenap undangan lainnya.
.
Sebanyak 377 CPNS penerima surat keputusan tersebut terdiri dari tenaga guru sejumlah 227 orang, tenaga kesehatan sejumlah 109 orang dan tenaga teknis sebanyak 41 orang.
.
Kepala BKD Trenggalek, Drs. Pariyo, dalam laporannya menyampaikan bahwa pengadaan formasi CPNS tahun 2018 dimulai sejak bulan November dan formasi yang didapat sebanyak 389 formasi.
.
"Dari ribuan pelamar yang mengikuti seleksi CPNS di Trenggalek, akhirnya sebanyak 377 orang pada tanggal 22 Maret 2019 kemarin telah diterbitkan NIP dari BKN," terangnya.
.
Sementara itu, Plt. Bupati Nur Arifin menuturkan bahwa penerimaan CPNS ibarat peremajaan sel-sel tubuh atau penyegaran. Hal itu karena adanya tenaga lama yang telah memasuki masa purna tugas akan digantikan dengan tenaga baru.
.
Diharapkan dengan tenaga baru tersebut dapat membawa semangat perubahan di Kabupaten Trenggalek dengan bekerja dengan sebaik-baiknya.
.
"Berada di sektor publik, diharapkan para abdi negara ini bisa memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat, sehingga ada kepuasan bagi yang kita layani," ungkap Nur Arifin.
.
Dalam penyerahan surat keputusan tersebut, Plt. Bupati Nur Arifin juga menyinggung tentang upaya curang dalam perekrutan CPNS dan menyebut hal itu sebagai suatu kebodohan. .
"Jangan percaya bila ada yang janji-janji, karena semuanya dilakukan dengan sistem komputerisasi, sehingga tidak ada celah kecurangan dalam proses ini. Diterima menjadi CPNS merupakan hasil dari kecerdasan anda, bukannya karena bantuan dari orang lain," tuturnya.
.
"Dan ingat, anda belum diangkat menjadi PNS, maka bekerjalah dengan sebaik-baiknya sampai anda ditetapkan menjadi PNS," tegas Plt. Bupati Nur Arifin. (Humas)


RAIS AM DAN KETUA TANFIDHIYAH DARI MASA KE MASA

RAIS AM DAN KETUA TANFIDHIYAH PBNU
DARI MASA KE MASA

Muktamar NU ke-1 (Surabaya, 1926):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ H. Hasan Gipo (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-2 (Surabaya, 1927):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ H. Hasan Gipo (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-3 (Surabaya, 1928):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ H. Hasan Gipo (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-4 (Semarang, 1929):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-5 (Pekalongan, 1930):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-6 (Cirebon, 1931):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-7 (Bandung, 1932):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-8 (Jakarta, 1933):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-9 (Banyuwangi, 1934):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-10 (Surakarta, 1935):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-11 (Banjarmasin, 1936):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Achmad Nor (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-12 (Malang, 1937):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-13 (Banten, 1938):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-14 (Magelang, 1939):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-15 (Surabaya, 1940):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-16 (Purwokerto, 1946):
✅ KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar)
✅ KH. Nachrowi Tohir (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-17 (Madiun, 1947):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Nachrowi Tohir (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-18 (Jakarta, 1948):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Nachrowi Tohir (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-19 (Palembang, 1951):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Abdul Wahid Hasyim (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-20 (Surabaya, 1954):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Muhammad Dahlan (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-21 (Medan, 1956):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-22 (Jakarta, 1959):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-23 (Surakarta, 1962):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-24 (Bandung, 1967):
✅ KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam)
✅ KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-25 (Surabaya, 1971):
✅ KH. Bisri Syansuri (Rais Aam)
✅ KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-26 (Semarang, 1979):
✅ KH. Bisri Syansuri (Rais Aam)
✅ KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-27 (Situbondo, 1984):
✅ KH. Achmad Siddiq (Rais Aam)
✅ KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-28 (Yogyakarta, 1989):
✅ KH. Achmad Siddiq (Rais Aam), Beliau wafat tahun 1991 kemudian diganti oleh KH. M. Ilyas Ruchiyat menjadi Pjs Rais Aam 1992-1994
✅ KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-29 (Tasikmalaya, 1994):
✅ KH. M. Ilyas Ruchiyat (Rais Aam)
✅ KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-30 (Kediri, 1999):
✅ KH. MA. Sahal Machfudh (Rais Aam)
✅ KH. A. Hasyim Muzadi (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-31 (Surakarta, 2004):
✅ KH. MA. Sahal Machfudh (Rais Aam)
✅ KH. A. Hasyim Muzadi (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-32 (Makassar, 2010):
✅ KH. MA. Sahal Machfudh (Rais Aam), Beliau wafat tahun 2014 kemudian diganti oleh KH. A. Musthofa Bisri menjadi Plt Rais Aam 2014-2015
✅ KH. Said Aqil Siroj (Ketua Tanfidziyah)

Muktamar NU ke-33 (Jombang, 2015):
✅ KH. Ma'ruf Amin (Rais Aam)
✅ KH. Said Aqil Siroj (Ketua Tanfidziyah)

Sumber:
Gedung PWNU Jawa Timur

Sabtu, 23 Maret 2019

Apel Gelar Pasukan Gabungan Pengamanan Pemilu 2019 di Trenggalek

Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019. Polres Trenggalek, Kodim 0806 Trenggalek bersama Pemkab Trenggalek menggelar apel pasukan dalam rangka pengamanan Pemilu Serentak pada 17 April 2019 mendatang.

Diikuti ratusan peserta apel mulai dari pasukan TNI-Polri, Ormas, Linmas serta OPD terkait. Apel gabungan yang digelar di alun-alun Trenggalek dipimpin langsung oleh Kapolres Trenggalek AKBP Didit Bambang Wibowo S, S.I.K., M.H., Dandim 0806 Trenggalek Letkol Inf Dodik Novianto, S.Sos dan Plt. Bupati Trenggalek H. Moch. Nur Arifin. Jumat (22/03)

Membacakan sambutan Menko Polhukam, Kapolres Trenggalek AKBP Didit Bambang Wibowo S, S.I.K., H.H menyampaikan Pemilu serentak tahun ini merupakan pesta demokrasi yang akan menjadi tonggak sejarah di Indonesia, bahwasannya dalam pemilu tersebut ada lima jenis pemilihan dalam waktu yang bersamaan.

Sukses tidaknya perheletan demokrasi ini sangat tergantung pada semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Ucap Kapolres Didit

Lebih lanjut AKBP Didit mengatakan momentum tersebut adalah sebagai ajang kompetensi program dan kapabilitas untuk mendapakan kepercayaan rakyat yang akan memilih menjadi pemimpin Nasional. Ditambahkan olehnya TNI-Polri akan bertanggungjawab penuh dalam mengamankan pemilu serentak tahun ini.

Saya berharap prajurit TNI-Polri dan komponen masyarakat yang dilibatkan agar melaksanakan tugas ini dengan penuh dedikasih dan rasa tanggung jawab. Imbuh Kapolres Didit

Sementara itu Plt. Bupati Trenggalek H. Moch. Nur Arifin dalam amanatnya mengatakan pengamanan Pemilu serentak 2019 ini sangat penting. Beliau meminta pada semua stakholder terkait satu pemahaman dalam mengamankan pemilu tahun ini agar berjalan dengan lancar.

Mari kita wujudkan pesta demokrasi ini benar-benar pestanya rakyat. Mengapa kita sebut pesta karena rakyat berhak berkesempatan untuk memilih pemimpin yang baik. Ucap Cak Apin.

Sedangkan Dandim 0806 Trenggalek Letkol Inf Dodik Novianto, S.Sos menambahkan, perlu adanya sinergi dalam pengamanan Pemilu Serentak ini, terkhusus di Kabupaten Trenggalek.

Kami Kodim 0806 Trenggalek akan mendukung penuh dalam rangka pengamanan Pemilu 2019. Dan kita semuanya menjaga serta memegang teguh netralitas TNI. Imbuhnya. Diskominfo Trenggalek

Pentingnya NU dalam Ekosistem Digital

Dunia saat ini tengah memasuki disrupsi digital. Hal-hal yang biasa dilakukan dengan luring (offline) mulai bermigrasi masuk ke dalam jaringan (online). Perubahan ini juga berdampak pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia tentu punya ruang terbuka berperan dalam proses tersebut.

"NU harus bisa menjadi komunitas yang terbuka, berkolaborasi dengan pemain-pemain digital," kata Ainun Najib, praktisi digital, kepada NU Online, Kamis (21/3) malam.

Kolaborasi ini menurutnya, akan berdampak positif pada percepatan pertumbuhan dunia digital Indonesia. Pasalnya, dalam konteks Indonesia, jumlah warga NU paling besar di samping mampu berkolaborasi dengan masyarakat umum karena penghormatannya terhadap kemajemukan.

Ainun mencontohkan Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah NU (LAZISNU), misalnya, dapat bekerja sama dengan website atau aplikasi crowdfunding. Dengan unicorn, misalnya, guna menarik nahdliyin menawarkan produknya di sana. NU juga, menurutnya, bisa berupaya membantu start-up yang baru dirintis.

"Jadi tidak hanya menjadi pasar, pengguna, tetapi juga sebagian generasi muda NU ikut menjadi pemain digital," ungkapnya.

Pria alumnus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu menjelaskan bahwa membangun ekosistem digital itu bisa mulai dengan mendirikan jaringan komunikasi warganya. Dengan adanya itu, NU bisa bekerja sama dengan platform untuk menyelesaikan kebuntuan kebutuhan nahdliyin.

Sinergitas dan kolaborasi NU ini menghasilkan hal yang positif dan keuntungan di semua pihak, baik NU, nahdliyin, penyedia platform, hingga pemerintah. 

"Hanya NU-lah komunitas di nusantara ini yang paling besar dan berwawasan terbuka menerima, menjaga dan melestarikan kemajemukan dan melihatnya sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan," pungkasnya. 


Sumber : NU Online

Tingkeban Akbar 196 Emak NU

Pertama dan Terbesar di Indonesia. Mengangkat Tradisi selamatan dan doa untuk ibu hamil agar dianugerahi keselamatan dan putra-putri shalihah untuk masa depan agama, bangsa dan negara.
Digelar dalam rangka memperingati Harlah ke-96 Nahdlatul Ulama, 16 Rajab 1440 H.
Sebuah ikhtiar Nahdlatul Ulama menyiapkan generasi emas, sejak dari kandungan ibu menuju kejayaan Indonesia menyambut usia 1 abad NU tahun 2023 dan 1 Abad NKRI pada tahun 2045.
Ikuti dan Hadiri 
Sabtu, 23 Maret 2019
mulai 19.00 WIB 
di Parkir Utara Kantor PWNU Jawa Timur.


Sumber : PWNU Jatim

Jumat, 22 Maret 2019

Sejarah Singkat Nahdlatul Ulama

Tak semua orang Indonesia tahu apa itu Nahdlatul Ulama (NU). Ini tulisan singkat sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Hari lahir NU diperingati dua kali: 16 Rajab dan 31 Januari. Pertama berdasar kalender Hijriyah, kedua berdasar Masehi.
Hari ini, 16 Rajab 1438 Hijriyah, adalah hari lahir organisasi Islam terbesar di Indonesia—dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU). Tepat 94 tahun yang lalu dalam kelender hijriyah, dimotori duo KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya, menyepakati perkumpulan yang sebenarnya sudah memiliki embrio jauh sebelum itu.
Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kiai yang kelak mendirikan NU telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya (1914) juga mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Nahdlatul Ulama tak lain adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya tersebut, namun dengan cakupan yang lebih luas.
Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat masih miskin dan bodoh, karena sumber daya ekonomi dikuasai Belanda dan sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi yang direncanakan dan didesain untuk menjadi ambtenaar Belanda. Di desa-desa, rakyat jelata berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.
Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang didapat, kiai-kiai, kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren untuk mendidik orang-orang desa dari buta aksara dan tuna pengetahuan. Sebagian besar yang diajarkan nilai-nilai agama, namun pada kenyataannya mereka yang nyantri belajar lebih dari itu. Dengan adanya pesantren, banyak warga desa yang sebelumnya tidak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis, namun dalam bentuk Arab pegon. Tapi dari situlah transformasi pengetahuan, wawasan dan literasi terjadi.
Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak. Namun berbeda dengan kalangan pembaharu puritan yang mendorong pemurnian Islam dari tradisi-tradisi lokal yang dianggap bid’ah, kiai-kiai pesantren menerima dan mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi Jawa tidak merasa tercerabut dari akarnya ketika memeluk dan mempraktekkan ajaran Islam.
Namun tekanan kaum puritan yang mengatasnamakan kembali kepada Qur’an dan Hadist membuat banyak kiai merasa tidak nyaman. Tekanan terbesar terhadap kelompok pesantren terjadi ketika terjadi perubahan di Timur Tengah, yang mana Abdul Aziz bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud menguasai Mekah-Madinah. Ibnu Saud yang berpandangan Wahabi hendak menerapkan azas tunggal Wahabi dan memberangus madzhab-madzhab lain di dua tempat suci orang Islam tersebut dan ingin menghancurkan situs-situs peninggalan Nabi yang dianggap bisa menyeret pada kemusyrikan.
Para kiai pesantren yang sebagian pernah belajar di Mekah-Madinah pun saling berkomunikasi dan membahas persoalan tersebut. Setelah lewat proses komunikasi yang panjang, KH Wahab Chasbullah beserta KH Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di Surabaya, di kediaman Kiai Wahab. Di situ disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz melahirkan sejumlah tuntutan, diantaranya:

1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberikan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.
2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk makam puteri-puteri Nabi.
3. Meminta agar biaya yang dikenakan kepada jemaah haji diumumkan ke publik dunia.

Namun untuk bisa mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh payung organisasi. Maka dari itulah, diikuti kesadaran tentang pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim Asy’ari di Mukadimah Qanun Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama. Meski pembahasan tentang keberatan terkait kebijakan Ibnu Saud sudah dibahas saat pendirian NU pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, namun karena berbagai kendala delegasi ke Arab Saudi yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah serta Syaikh Ahmad Ghonaim Al-Mishri baru bisa berangkat 7 Mei 1928 atau 5 Syawal 1346 Hijriyah, dua setengah tahun setelah NU berdiri.
Komite Hijaz boleh dikata adalah produk politik pertama Nahdlatul Ulama, yang menunjukkan semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermadzhab dalam Islam. Dalam sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinekaan yang ada, NU menerima Pancasila dan tak menuntut syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru negara-bangsa Indonesia.
Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain karena dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga karena NU memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tathorruf).
Di NU, perdebatan dan perbedaan menjadi sesuatu yang biasa dan diterima, tak jarang dengan canda-tawa. Di forum-forum rapat atau bahtsul-masail NU, kiai-kiai bisa berdebat dengan sengit tapi ketika situasi sudah sangat panas maka ada saja yang melempar joke/guyonan yang membuat jamaah forum tertawa bersama.
NU memang unik. Hari lahir NU juga terbilang unik. Karena tiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, 16 Rajab serta 31 Januari. Peringatan pertama berdasar kalender hijriyah, peringatan kedua berdasar masehi. Berdasar dua penanggalan berbeda itu, umur NU jadinya juga berbeda. Jika berdasar hijriyah umur NU sudah 94 tahun, sedang jika menurut perhitungan masehi umur NU baru 91 tahun.

Sumber : MI Dukuh Online

Riwayat Memahami

Riwayat Memahami
oleh Abdullah Zuma 
--------------------------------------
“Pahamilah aku! Kamu tak pernah bisa memahamiku,” katamu suatu ketika. 

Aku kaget mendengar kata itu. Untuk beberapa saat aku  diam tak menanggapi karena tahu harus berkata apa.

Kamu diam. Menunggu aku bicara.

Setelah berapa lama diam, terpaksa aku bersuara.

“Perlu kamu ketahui,” aku mulai bicara, “kata memahami begitu menakutkan bagiku. Jangankan melakukannya, membayangkannya pun aku tak pernah. Bukan sekadar tak bisa, tapi tak mungkin bisa. Jangankan memahamimu, sudah kukatakan bahwa tentang diriku, keberadaanku, mengapa aku begini, bukan begitu, sampai saat ini aku tak paham. Juga tentang kenapa aku mencintaimu sampai saat ini aku tak memahaminya. Jangan-jangan aku mencintaimu karena memang aku tak memahami.”

Kamu diam.

“Baiklah kalau kamu kurang memahami apa yang kukatakan tadi, aku akan menceritakan riwayatku tentang memahami. Begini, saat aku berada di ruang kelas, waktu aku masih sekolah, aku sering tak paham apa yang diterangkan ibu guru. Aku hanya memandangi mimik muka, menyimak intonasi, gerak-gerik tubuhnya, tapi kata-kata yang berhamburan dari mulutnya jelas tak kupahami. Kata-katanya hanya jadi buih percuma. Jangankan memahami kata-kata orang lain, kata-kataku sendiri saja kadang aku tak paham. Aku tak pernah bertanya dan ditanya ibu guru karena bukan sekadar mungkin tapi pasti aku tak kan bisa menjawab. Aku hanya diam saja. Kawan-kawanku tidak akan menertawakan atau mencemoohku karena mereka sudah maklum dengan kebiasaanku. Aksara atau gambar yang ada di papan tulis yang dibikin bu guru terasa asing. Catatan-catatan yang aku bikin juga hanyalah sebatas catatan. Karena jika aku membacanya kembali saat waktu ujian semakin dekat, aku hanyalah membaca tanpa ada yang bisa kupahami. Maka, waktu aku mengisi sosl-soal uji
an, sungguh jarang –untuk tidak mengatakan tidak pernah-  aku membacanya, karena itu sia-sia. Aku cuma pura-pura membaca soal, bukan memahami.”

Kamu masih diam.

“Kemudian jika nilai-nilaiku ada yang bagus, sungguh itu hanyalah keberuntungan, itu adalah kebetulan belaka. Dan jika itu terjadi berkali-kali, itu adalah keberuntungan dan kebetulan yang berkali-kali, berturut-turut, berulang-ulang. Jika kau bertanya mungkinkah itu terjadi? Begitulah kenyataannya. Kadang aku juga tidak paham akan semua itu. Ada juga kemungkinan lain bahwa nilai-nilai yang tertera di rapor, dikatrol ibu guru sehingga aku layak naik kelas. Itu mungkin sekali terjadi karena dia kasihan kepadaku. Pertimbangannya adalah, percuma saja aku tak naik kelas karena dia pasti tahu tak akan ada perkembangan berarti dalam pemahamanku.”

Kamu masih juga diam.

“Kamu masih ingat video klip yang kau berikan beberapa waktu lalu itu?” 

“Oh ya. Masih ingat? Kenapa?”

“Nah, di video klip itu ada lagu yang sering kaunyanyikan. Suaramu persis dengan penyanyi aslinya. Terus terang aku menyukai dan menikmatinya. Tapi jelas aku tak bisa memahaminya. Aku sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa menikmati tak selamanya harus memahami. Jika aku menontonnya, lagi-lagi aku tak paham gerak-gerik orang yang ada dalam gambar hidup itu, meski aku telah berjuang memahaminya. Karena itulah aku kurang suka menonton film meski kamu mengajakku beberapa kali. Percuma! Aku sangat sukar memahami gerak-gerik, alur cerita, apalagi menebak akhir dari cerita dan bagaimana nasib tokoh-tokohnya. Jika nonton bersama teman misalnya, aku sering bingung sendiri. Dia biasanya tertawa melihat adegan atau kalimat yang tentu menurutnya lucu. Dia kadang terharu, mengangguk-angguk, tersenyum, atau bahkan menangis. Apalagi film dengan bahasa asing. Terjemahan kata-katanya tak banyak membantu.”

Kamu kembali terdiam.

“Apalagi kalau berbicara tentang hidup, lebih tak kupahami! Dari satu soal saja, masalahnya bisa beranak-pinak sampai tak terhingga. Misalnya, tentang dari mana asalnya manusia, harus bagaimana seharusnya, dan akan kemana nantinya, akan berkecambah masalahnya sampai tak terhingga karena dari waktu ke waktu cara pandang orang semakin berkembang. Sungguh aku tak paham semua itu. Sudah kukatakan, jangankan tentang hidup, tentang diriku, keberadaanku, mengapa akau seperti ini bukan seperti itu, sampai saat ini aku tak paham. Sampai aku pada kesimpulan seperti ini, hidup bukan untuk dipahami dan dimengerti, tapi dijalani. Makanya aku hidup, ya hidup saja seperti ini. Aku hanya menjalani saja tanpa pernah memikirkan atau merencanakan karena aku rasa kelahiranku, keberadaanku tanpa aku pikirkan dan aku rencanakan sebelumnya. Karena itulah, aku hampir tidak pernah punya cita-cita, tujuan hidup, keinginan, berusaha mengubah diri, apalagi mengubah orang lain. Sebab semuanya ‘merasa’ ada yang sudah memikirkan dan merencanakan. Kamu jangan bertanya siapa yang memikirkan dan merencanakannya, karena aku sama sekali tak tahu! Aku hanya merasa seperti itu. Jika ingin jelas, tanyakan saja pada orang lain.”

Lagi-lagi kamu terdiam.

“Sungguh! Janganlah kamu meminta supaya aku bisa memahamimu. Itu akan sia-sia saja. Tapi kamu jangan pernah menyangka jika aku tak bisa memahamimu berarti aku tak mencintaimu. Jangan! Jangan pernah punya pikiran seperti itu. Memahami dan mencintai adalah dua hal yang sunguh berbeda. Jika ada yang menyamakan, atau mengait-kaitkan, sungguh! Itu hanya akal-akalannya saja. Tapi sekali lagi, jika yang kaupinta adalah memahami, jangankan berbicara tentang kepastian, untuk mengatakan sekadar kemungkinan pun aku masih ragu. Juga bukan sekedar ragu, tetapi aku yakin tak bisa.”

“Mungkinkah cinta tanpa memahami?” kamu sekarang bertanya setelah mendengar penjelasanku  yang entah kamu pahami, entah tidak. Terus terang sebenarnya aku juga tak paham penjelasanku sendiri. Aku hanya berusaha berkata dan seperti itulah kata-kata yang keluar.

Aku langsung menjawab, “Mungkin! Bahkan aku pikir bukan hanya sekadar ‘mungkin’, tapi pasti.”

“Seperti apakah menjalani cinta tanpa memahami?” tanyamu lagi.

“Seperti yang kita jalani sekarang ini.”

“Seperti apa yang kita jalani sekarang ini?”

“Ya, seperti ini.”

“Iya, seperti apa?”

“Aku tak paham pertanyaanmu.”

“Aku tak paham penjelasanmu.”

Kamu terdiam. Aku juga terdiam. Kamu sepertinya tak ingin bertanya lagi. Aku juga tak ingin menjelaskan lagi. Mungkin antara aku dan kmu tidak ada yang mesti dipahami lagi.


Penulis adalah Nahdliyin tinggal di Bandung, pernah nyantri di Pondok Pesantren Asy-Syarfiyah dan As-Salafiyah Nurul Hikmah Sukabumi 


Sumber : NU Online

PBNU Siap Gelar Istighotsah Kubra dan Tahlil Serentak Nasional

PBNU menginstruksikan seluruh warga NU untuk memperingati hari lahir (harlah) Nahdlatul Ulama ke-96 versi tahun Hijriah dengan melaksanakan istighotsah secara serentak di daerah masing-masing pada 16 Rajab 1440 H yang bertepatan dengan 23 Maret 2019 pukul 06.00 waktu setempat.  

Menurut Ketua PBNU Robikin Emhas instruksi ini untuk seluruh pengurus NU dari anak ranting hingga pusat serta pengurus 14 lembaga dan 18 badan otonom NU dari cabang hingga pusat, 36 pengurus NU di luar negeri (PCINU) serta pesantren dan majelis ta’lim, serta warga NU pada umumnya.

“Tujuan kegiatan ini adalah memohon pertolongan kepada Allah agar keluarga masyarakat dan bangsa kita senantiasa menjadi keluarga, mayarakat, dan bangsa yang aman damai, makmur, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur; kegiatan ini juga bertujuan untuk mendoakan para ulama, pejuang, para syuhada shalihin yang merupakan perintis kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (14/3).

Ia menambahkan, kegiatan bernama Istighotsah Kubra dan Tahlil Serentak Nasional ini bisa dipusatkan di masjid, mushala, pesantren, atau di tempat terbuka di lingkup cabang atau wilayah masing-masing.

Kegiatan ini, sambungnya, akan diikuti 10.985.100 orang dengan rincian sebanyak 8.980.350 orang yang dikoordinasi PWNU dan PCNU di seluruh Indonesia, sebanyak 2.000.000 orang yang dikoordinasi kalangan pesantren dan majelis taklim, serta 4.750 orang yang dikoordinasi PCINU di 36 negara.

Lebih lanjut ia mengatakan, Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar sebelumnya sempat mewacanakan peringatan harlah NU pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, akhir bulan lalu. 

“Ternyata sambutan pengurus wilayah dan cabang, serta warga NU sangat luar biasa. Berdasarkan laporan yang masuk ke PBNU, jumlah yang ingin hadir, melebihi yang diperkirakan. Kita punya rincian detail jumlah orang dari tiap daerah,” katanya. 

Oleh karena itu, kata dia, PBNU mempertimbangkan pelaksanaan tersebut dari berbagai aspek, terutama keamanan dan ketertiban, juga ketersediaan tempat. 

“Kita berpegang kepada kaidah fiqih, dar’ul mafasid muqadamun ala jalbil mashalih, mencegah dampak yang tak diharapkan lebih penting daripada kemeriahan seremonial. Juga kaidah riayah mashalihil ‘ammah;kemashalahatan untuk kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan golongan,” pungkasnya.


Sumber : NU Online

Kamis, 21 Maret 2019

Bulu Kemoceng dan Fitnah kepada Sang Kiai


Suatu ketika seorang santri meminta maaf kepada Kiainya yang telah difitnahnya. Sang Kiai hanya tersenyum.

“Apa kau serius?” tanya Sang Kiai

“Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya,” jawab santri.

Sang Kiai terdiam sejenak. Lalu ia bertanya, “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?”

“Ya, saya punya sebuah kemoceng Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

“Besok pagi, berjalanlah dari kamarmu ke pondokku. Berkelilinglah di lapangan sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui. Kamu akan belajar sesuatu darinya.”

Keesokan harinya, sang santri menemui Kiai dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulu pun pada gagangnya. Ia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada Sang Kiai.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu di sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari lima kilo dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Maafkan saya, Kiai.”

Sang Kiai terdiam sejenak, lalu berkata, “Kini pulanglah. Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku. Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.”

Sepanjang perjalanan pulang, sang santri berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan.

Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di bangunan-bangunan pesantren ini, atau tersapu ke tempat yang kini tak mungkin ia ketahui.

Sang santri terus berjalan. Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan kamarnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya terasa berat. Tenggorokannya kering. Hanya ada lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan di sepanjang perjalanan.

Hari berikutnya sang santri menemui Sang Kiai dengan wajah yang murung sambil menyodorkan lima helai bulu ke hadapan Sang Kiai.

"Kiai, saya mohon maaf. Hanya ini yang berhasil saya temukan.” 

"Kini kamu telah belajar sesuatu,” kata Sang Kiai.

“Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Tanya santri itu.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Sang Kiai.

“Bulu-bulu yang kamu cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Meskipun kamu benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yg beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kamu hitung!."

"Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri. Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kamu tak bisa menghentikan semua itu!,"

"Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya."

Sang Kiai terdiam sejenak kemudian melanjutkan nasihatnya:

"Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Meskipun aku atau siapa pun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi."

"Maka kamu tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak. Itulah kenapa, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan."

Bayangkan bagaimana kalau bulu-bulu kemoceng itu tersebar di dunia media sosial. Dunia digital yang akan selalu ada meski kita sudah menghapusnya. Maka, setiap kita posting coba di telaah dulu fitnah atau bukan?

Shofwan Alwie Husein. Alumni Pesantren Lirboyo (Disarikan dari Kumpulan Kisah Inspiratif)


Sumber : NU Online

Cara Kiai Ajarkan Metode Berdakwah lewat Sawah

Menjelang sepertiga malam, kira-kira pukul dua dini hari, setelah menempuh perjalanan dari sore, kami berhenti sejenak sekedar mengisi perut, sebelum pulang ke desa masing-masing.

Sambil menikmati ayam dan lele bakar di sebuah warung Lamongan, di depan kantor kecamatan, kami berbincang dan berbagi cerita pengalaman dengan kiai kami, yang sudah berusia 70-an.

Ada santri paling sepuh di antara kami, yang pengalaman bersama Kiai lebih banyak, apalagi dia ikut rewang (membantu) di tambak dan sawah, sehingga pelajaran yang ia terima lebih kaya. Bukan hanya di surau pesantren, tapi juga di tambak dan sawah.

Ia bercerita, dulu pernah diajari oleh Kiai metode mencangkul. Ada tiga metode yang dicontohkan Kiai: mencangkul dengan cara miring, tegak dan membungkuk.

Santri itu disuruh Kiai mencoba apa yang telah dicontohkan. Namun sampai beberapa kali, menurut penilaian Kiai, santri tersebut belum bisa melakukannya secara tepat.

Kiai menyuruh santrinya berpikir, lalu kira-kira Kiai berkata:

"Metode mencangkul yang bermacam-macam itu sesuaikanlah dengan keadaan tanah. Apakah tanah itu keras atau lunak, itu beda cara mencangkulnya. Tanah itu sama dengan manusia, ada yang keras atau kaku, ada yang lunak, ada yang labil. Cara mengajak atau mengarahkan mereka juga beda, seperti mencangkul tadi."

Santri pun tertegun atas nasihat Kiai. "Sampai sekarang saya belum menangkap jelas nasihat beliau itu," kata santri mengenang.

Aku yang mendengarkan tertegun pula. Tak menyangka sebelumnya, Kiai akan menautkan cara mencangkul dan metode mengajak manusia kepada kebaikan: dakwah.


Sumber : NU Online

Sabtu, 02 Maret 2019

Kalam-kalam Langit, Keluhuran Al-Qur'an dan Elegi Kisah Cinta

Oleh Syamsul Badri Islamy
Ada rasa sentimental saat menonton Kalam-kalam Langit. Setidaknya itu terasa ketika film bercerita tentang kehidupan pesantren. Termasuk elegi percintaan yang epic; muda-mudi yang saling berkirim surat. Bagian itu dikisahkan dengan pas dan ‘nyata’, tanpa ada kesan dibuat-buat sebagaimana ‘sinetron Islami’ yang justru akhirnya menjemukan.

Kalam-kalam Langit bertutur tentang niat, sesuatu yang ‘abstrak’ dan subjektif. Tentang Ja’far (Dimas Seto) yang mempunyai bakat di bidang tilawatil Qur’an dan memiliki kesempatan untuk mengikuti MTQ. Bakatnya terpantau sejak kecil, saat ia menjuarai MTQ tingkat madrasah. Tak heran sebetulnya, sebab ibunya dulu juga seorang qari’ah.

Namun, keahlian Ja’far di bidang seni baca Al-Qur'an ini terhenti karena ketidaksetujuan ayahnya yang melarang ia mengikuti pelbagai perlombaan. Alasannya, ia khawatir Ja’far akan terjebak pada niat yang salah. “Jangan menjual ayat suci hanya untuk mencari keuntungan atau popularitas,” kata ayah Ja’far yang diperankan Mathias Muchus. Saat itu, ibunya sakit-sakitan dan tak lama kemudian meninggal.

Lulus SD, Ja’far melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Bersama dengan Nisa (Elyzia Mulachela), sahabat baiknya sejak kecil. Nisa tak hanya baik sebagai teman, ia juga sahabat yang andal dalam menghafalkan Qur’an. Di pesantren, Ja’far tetap berteman dengan Nisa. Tetapi kehadiran Azizah, putri Kiai Humaidi, sang pemimpin pesantren, di keseharian mereka membuat Nisa cemburu.

Ya, Nisa telah menyimpan rasa kepada Ja’far terutama sejak di pesantren. Alih-alih memahami perasaan Nisa, Ja’far justru meminta Nisa untuk menyampaikan surat cintanya kepada Azizah—tentu saja, karena cemburu, surat tersebut tak pernah ia sampaikan. Sementara, di sisi lain Azizah telah diincar oleh Syathori (Ibnu Jamil).

Bahkan di pesantren sekalipun, setidaknya dalam Kalam-kalam Langit, selalu ada ‘antagonis’ (yang kehadirnnya dengan atau tanpa sebab berkait dengan kebutuhan cerita). Bentuk dan skalanya variatif; mulai dari kecurangan dalam MTQ, hingga kasus pacaran, keluar dari pesantren tanpa izin, merokok, ghozob yang, diakui atau tidak, sering pula terjadi di pesantren.

Syathori, dalam visualisasi cambang yang lebat dan celak hitam yang mengitari matanya, nyalang berikrar ingin kembali mewakili Pesantren Al Amin dalam perlombaan MTQ. Selain terobsesi menjadi juara, ia punya motif lain: ingin mendapatkan Azizah. Motif itulah yang kiranya menjadi kekhawatiran ayah Ja’far.

Maka dalam satu adegan, orang tua Ja’far berpesan kepada putranya, "bacalah Qur’an atas nama Tuhanmu. Menata niat seperti itulah yang justru digambarkan menjadi kesulitan terbesar seorang qari’." Bahkan sampai saat itu, Ja’far masih terus belajar untuk memposisikan bacaan Qur’an-nya sebagai ‘dakwah’. Sementara Syathori telah tergelincir pada niatan yang salah.

Dan, antagonis selalu licik. Ja’far yang telah dipilih Kiai Humaidi untuk mewakili Al Amin, setelah sebelumnya dikuatkan KH Said Aqil Siradj, "Membaca Qur’an dengan suara yang enak dan merdu adalah bagian dari dakwah"—justru difitnah oleh Syathori dengan tuduhan yang sebetulnya ia lakukan sendiri.

Saat itu Ja’far pulang dan bolos belajar qira’ah kepada Kiai Humaidi lantaran ayahnya sakit dan harus segera dioperasi. Ia butuh uang untuk operasi. Nisa mendapat pinjaman dari Syathori dengan syarat Ja’far harus mengundurkan diri dari MTQ. Tanpa diduga, mentah-mentah ayahnya menolak bantuan itu. “Sejak kapan kamu bisa dibeli,” kata ayah Ja’far. “Kamu harus takut sama Gusti Allah.”

Maka Ja’far kembali ke pesantren dan mengembalikan uang pemberian Syathori dan mengikuti MTQ. Sayang, menjelang pengumuman, ada kabar bahwa ayah Ja’far meninggal. Ada keharuan yang menyeruak di benak dalam potongan-potongan adegan bagian ini. Tentang pertanyaan; apa lagi yang kau cari, yang bisa kau berikan dan banggakan kepada orang tua, bila mengaji saja tak bisa atau tak pernah?

Dan lantunan Ar-Rahman yang bertalu-talu membasahi jiwa yang kering kerontang. Menimbulkan getaran-getaran yang patut disyukuri, bahwa hati kita masih bisa lumer dan tersentuh dan tidak membantu saat dibacakan Kalam-Kalam Langit. Film ini sungguh nostalgia, bagi orang-orang yang telah lama meletakkan Qur’an di daftar bacaan terakhir setelah koran dan media sosial.

Perjalanan ‘sufistik’ Ja’far cukup panjang, hingga muncul pertanyaan pada diri sendiri: “Apakah ini jalanku menuju-Mu, atau hanya nafsu kemenangan?” Tapi ia selalu diingatkan pesan almarhum ayahnya, bacalah (hanya) atas nama Tuhanmu, dan untuk ibumu. Kesulitan menata niat bahkan bisa kita rasakan ketika perhelatan MTQ tingkat nasional...

Azizah menerima lamaran Syathori—hal yang cukup menyesakkan sebetulnya. Dan saat itu, ia meminta bertemu dengan Ja’far hanya untuk memintanya mengundurkan diri dari perlombaan. Suaminya, kata Azizah, sangat terobsesi menjadi juara. “Kalau kamu tidak mau melakukannya, lakukanlah demi aku,” kata Azizah.

Kalimat itu memberikan kita pelajaran: kita mesti memilih jodoh yang baik. Sebab, seperti halnya kebaikan, keburukan pun menular. Saat final, Ja’far mengedarkan pandangan ke seluruh hadirin. Kita merasakan betapa emosionalnya momen itu. Di depan Azizah, Ja’far bisa saja berkeinginan membuktikan bahwa ia lebih baik daripada Syathori.

Cerita berakhir dengan kemenangan. Ja’far mempersembahkan piala juara MTQ ke pusaran ibunya. Kemudian muncullah Nisa, yang terkesan buru-buru berujar: “Aku mencari imamku.”—terlampau menyederhanakan cerita. Ja’far memang tidak mendapat apa yang ia inginkan (Azizah), tetapi yang ia memperoleh apa yang ia butuhkan: Nisa. 

Penulis adalah Ketua LTN PCNU Kota Bekasi


Sumber : NU Online